Senin, 27 Februari 2012

Mengenal Apa Itu "Ghost Fishing"

Ghost fishing sebenarnya bukanlah suatu jenis alat tangkap, atau bukan pula metoda penangkapan ikan yang memanfaatkan ilmu ghaib, seperti magic atau ilmu-ilmu sebangsanya dalam penangkapan ikan. Ghost fishing adalah suatu istilah dalam penangkapan ikan yang menggambarkan dampak negatif dari kegiatan penangkapan ikan. Layaknya istilah-istilah lain yang bertalian dengan “ghost”, istilah ghost fishing ini juga bermakna menakutkan, menakutkan bagi kelestarian sumberdaya ikan.

Sejak permintaan dunia akan sumber protein hewani khususnya ikan meningkat, upaya untuk meningkatkan kemampuan tangkap alat penangkapan ikan terus diupayakan, baik dari sisi teknologi bahan alat penangkapan ikan, metode penangkapan ikan, maupun teknologi alat bantu penangkapan ikannya. Kompetisi yang makin tinggi antar nelayan penangkap ikan mendorong nelayan untuk mengoperasikan alat tangkap yang lebih efektif dan efisien. Untuk memperpanjang masa pengoperasian alat tangkap, bahan alat tangkap yang semula dibuat dari bahan alami dan mudah rusak diganti dengan bahan yang dibuat dari fiber sintetik modern yang bersifat non-biodegradable. Bahan-bahan inilah yang kemudian memicu adanya gost fishing.

Dalam kegiatan penengkapan ikan, karena beberapa sebab, tidak jarang nelayan kehilangan alat tangkapnya. Nelayan yang mengoperasikan alat tangkap di pantai, seperti jaring gillnettrammel net atau bubu yang dioperasikan secara menetap hilang karena disapu oleh alat tangkap aktif seperti trawldogol, dan sebagainya. Alat tangkap juga bisa hilang karena faktor cuaca. Tidak jarang pula alat tangkap hilang karena unsur kesengajaan, misalnya dipotong oleh kapal niaga yang melintas jalur laut tersebut atau dipotong nelayan lain karena mengganggu daerah operasi penangkapannya. Potongan atau bagian jaring, atau alat tangkap yang tertinggal di laut, secara terus menerus akan menangkap ikan. Proses tertangkapnya ikan yang tak termanfaatkan sebagai akibat dari tertinggalnya alat tangkap ikan di laut inilah yang disebut sebagai ghost fishing.


Alat tangkap yang tertinggal di laut akan menyebabkan tertangkapnya ikan, yang kemudian karena mati, ikan menjadi busuk. Ikan yang telah membusuk tersebut kemudian menarik ikan atau biota pemangsa bangkai dan krustasea lainnya berkumpul di sekitarnya. Selanjutnya, kehadiran ikan dan krustasea pemangsa bangkai di sekitar alat tangkap, menarik ikan yang tropik levelnya lebih tinggi untuk datang dan memangsa ikan dan biota yang ada. Kecelakaan terjadi, beberapa ikan terperangkap alat tangkap yang tertinggal dan memicu siklus ghost fishing selanjutnya, demikian seterusnya. Proses ini akan berulang terus sampai alat tangkap itu hancur sama sekali. Umur dari siklus ghost fishing ini bervariasi, dan sangat bergantung pada kondisi lingkungan di sekitar tertinggalnya alat tangkap tersebut. 

Perhatian yang lebih besar dari ghost fishing perlu diberikan kepada bubu atau alat perangkap lainnya, bukan pada alat tangkap jaring, seperti gillnetatau trammelnet. Hal ini karena, bubu atau perangkap biasanya terbangun atas material atau bahan-bahan yang tahan lama dan struktur yang kuat, misalnya besi, kawat, bambu atau kayu. Sehingga bila tertinggal atau hilang di laut akan menyebabkan proses ghost fishing yang relatif lebih lama dibandingkan jaring. Bubu atau perangkap yang masih berumpan bila hilang atau tertinggal di laut, akan menarik ikan ikan-ikan pemangsa bangkai atau biota yang bernilai ekonomis lainnya untuk masuk dan kemudian terperangkap di dalam bubu. Ikan atau biota yang terperangkap tersebut karena kekurangan makanan dan ruang akhirnya mati, dan menjadikannya umpan bagi ikan pemangsa selanjutnya. Bila bahan dari bubu ini merupakan bahan yang tidak mudah rusak, maka proses hilangnya sumberdaya ikan akibat ghost fishing ini akan semakin banyak dan lebih merugikan dibanding jaring. 

Nilai dan jenis dampak dari ghost fishing sangat beragam, tergantung pada wilayah dan jenis perikanannya. Meskipun relatif sulit untuk menghitung nilai dampak dari ghost fishing, beberapa penelitian terhadap alat tangkap statis menunjukkan bahwa kehilangan akibat ghost fishingdiperkirakan sebesar 10% dari populasi yang ada. Amerika Serikat memperkirakan kehilangan pendapatan sekitar $250 juta per tahun dari hilangnya lobster akibat dari ghost fishing. Dilaporkan juga bahwa, jenis kerugian dari ghost fishing ini bukan saja dari hilangnya sumberdaya ikan, tetapi juga dialami oleh sumberdaya non-ikan seperti burung laut dan mamalia. Yang tak kalah pentingnya, hilangnya alat tangkap di laut ternyata juga berdampak luas terhadap ekologi laut dan juga transportasi laut khususnya keselamatan kapal di laut.

Mengingat begitu menakutkannya dampak dari ghost fishing, maka FAO merekomendasikan beberapa langkah antisipasi dan penanganan hilangnya alat tangkap termasuk di dalamnya ghost fishing dalam FAO Code of Conduct of Responsible Fisheries. Sebagai solusi kongkret, disarankan alat penangkapan ikan, khususnya bubu untuk menggunakan lubang keluar dan menggunakan material yang biodegradable. Penelitian secara berkala ghost fishing dengan underwater camera atau teknologi lainnya juga disarankan, untuk mengantisipasi peningkatan dampaknya pada masa yang akan datang.

Ikan Sidat Indonesia Diincar Jepang

Benar jika dikatakan bahwa kekayaan kelautan dan perikanan Indonesia termasuk yang terbesar di dunia. Buktinya terlihat dari salah satu spesies ikan kegemaran warga Jepang, yaitu ikan sidat atau unagi, yang banyak hidup di perairan Indonesia. Benih ikan sidat yang bisa hidup di air tawar dan asin itu ternyata menjadi incaran pengusaha perikanan Jepang karena harganya yang terbilang wah dan bisa mengucurkan yen ke kantong. Ambil contoh, ikan sidat jenis marmorata. Untuk membeli satu kilogramnya saja, Anda harus menyediakan uang setidaknya Rp 300.000. Namun, ada juga 5 jenis ikan sidat lainnya yang salah satunya dijual seharga Rp 150.000 per kg, yakni jenis bicolor. Benihnya banyak ditemukan di perairan Palabuhan Ratu, Jawa Barat. Sampai saat ini, manusia belum bisa melakukan pemijahan terhadap benih ikan sidat tersebut. Pasalnya, ikan ini mensyaratkan pemijahan dilakukan di perairan laut dalam setelah benur lahir dan menjadi benih. Biasanya anakan sidat akan berenang ke muara sungai. Di muara sungai itulah ikan itu besar sampai kemudian datang masa pemijahan lagi. “Jepang yang memiliki teknologi tinggi pun sampai sekarang belum bisa melakukan pemijahan tersebut,” papar Made Suita, Kepala Balai Pelayanan Usaha (BLU) Tambak Pandu, Karawang, Minggu (14/3/2010). Alhasil, untuk pembudidayaan ikan sidat tersebut, benih harus didatangkan dari alam. Beberapa daerah yang sudah memiliki sebaran tersebut adalah perairan Poso, Manado, selatan Jawa terutama perairan Palabuhan Ratu, dan perairan di barat Sumatera. Namun, tidak semua daerah itu benihnya bisa dimanfaatkan karena banyak nelayan yang belum mengerti cara untuk menangkapnya. Made menyebutkan, nelayan yang sudah memiliki kemampuan untuk menangkap benih sidat itu baru nelayan yang ada di Palabuhan Ratu. Wilayah ini memiliki palung dan muara sungai yang mengalir ke laut.

Nurdin selaku Kepala Bagian Budidaya di BLU Pandu Karawang bilang, kini sudah ada yang mengomersialkan keberadaan benih itu, terutama nelayan yang ada di Palabuhan Ratu. Mereka sudah mengetahui potensi pasar benih ikan sidat, yang satu kilogramnya atau sekitar 5.000 benih dijual seharga Rp 150.000 per kg. Pembelinya pun kebanyakan datang dari Taiwan, Korea, China, Vietnam, dan tentunya Jepang. Namun sebagian masyarakat Indonesia belum mengerti keberadaan bibit ikan sidat tersebut. Di Poso dan Manadi, misalnya, benih ikan sidat tersebut bahkan dijadikan ikan yang digoreng dengan rempeyek. Menurut Nurdin, ketika warga tidak mengetahuinya, ikan sidat itu menjadi ikan biasa seperti teri.

Pembeli benih ikan sidat dari berbagai negara kini sudah banyak mengincarnya. Sementara itu, pembeli benih domestik hanya memanfaatkannya untuk kebutuhan budidaya yang ada di Karawang, Cirebon, dan Indramayu. Yang menyulitkan bagi pembudidaya di dalam negeri adalah mereka tidak memiliki akses langsung ke pasar ekspor. Adapun di pasar dalam negeri, mereka tidak bisa berharap banyak karena konsumen domestik tidak menyukai ikan sidat dan juga karena harganya yang mahal.

“Untuk membudidayakannya juga ada persyaratan jika ingin ekspor ke Jepang sehingga pembudidaya ikan sidat sulit untuk ekspor ke sana,” kata Nurdin. Salah satu cara untuk bisa menembus pasar Jepang adalah dengan menjalin kerja sama terhadap perusahaan Jepang yang sebelumnya sudah berbisnis ikan sidat.
Nurdin bilang, ikan sidat cukup mahal karena proses perawatannya yang membutuhkan waktu lebih panjang, yakni 3-4 bulan. Adapun pakan utamanya adalah pelet dengan protein tinggi yang dijual seharga Rp 9.000 per kg. Selain itu, ikan juga butuh pakan tambahan berupa keong mas yang sudah dipotong-potong. Dalam perawatannya pun, suplai oksigen harus dijaga karena ikan sidat membutuhkan air dengan tingkat larutan oksigen tinggi. Adapun tingkat kehidupan rata-rata ikan sidat tersebut mencapai 75 persen dari bibit yang ditebar. “Jika ingin detailnya, maka silakan datang ke BLU Tambak Pandu Karawang. Kami akan berikan informasi detailnya,” undang Nurdin.

Saat ini di BLU Pandu Karawang terdapat mitra kerja sama dari Jepang, yakni Asama Industry Co Ltd. Mitra ini bekerja sama dengan PT Suri Tani Pemuka yang melakukan kerja sama untuk memproduksi ikan sidat di BLU Pandu Karawang. Ikan sidat yang sudah diproduksi tersebut bisa diekspor langsung ke Jepang karena sudah ada yang menampung. Sayang, Made tidak mau menyebutkan angka ekspor dari perusahaan mitranya tersebut. Hal yang dibutuhkan oleh pembudidaya ikan sidat adalah membuka kerja sama dengan pemasok ikan sidat yang ada di pasar dunia. Menurut Made, pasar yang sangat menarik dan belum banyak disentuh adalah pasar ikan sidat untuk kebutuhan non-Jepang. “Yang mengonsumsi itu tidak hanya Jepang. Taiwan, Korea, dan China juga sangat menyukai ikan ini,” ungkap Made.
Butuh proteksi ekspor benih
Masalah yang dihadapi oleh pembudidaya ikan sidat ini adalah masalah daya saing yang ketat dengan negara produsen lainnya. Negara yang sudah mengembangkan budidaya ikan sidat ini adalah Vietnam dan Korea, demikian juga dengan Jepang sendiri. Anehnya, kata Made, budidaya di dua negara tersebut mendapatkan benih ikan sidat dari Indonesia. Padahal, kata Made, Kementerian Kelautan dan Perikanan sudah memproteksi ekspor benih ikan sidat dengan alasan guna melindungi spesies dan untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri. “Namun, pembudidaya ikan sidat di Jepang itu sendiri ternyata adalah orang Indonesia,” ungkap Made. Termasuk yang ada di Korea dan juga Vietnam, benih ikan sidat itu diindikasi berasal dari Indonesia. Made mengindikasi bahwa banyak benih ikan sidat dari Indonesia berseliweran keluar negeri dan dibudidayakan di luar negeri. “Kontainer saja yang besar bisa diselundupkan, apalagi benih yang kecil ini,” ujar Made. Jika penyelundupan benih itu bisa diatasi, maka produksi ikan sidat dari budidaya di dalam negeri bisa sangat diandalkan sebagai nilai tambah bagi pembudidaya di dalam negeri, termasuk menambah devisa negara. 
Kompas.com, 17 Maret 2010

Ikan Hias, Primadona Ekspor Masa Depan

JAKARTA: Dewan Ikan Hias Indonesia (DIHI) menargetkan produksi ikan hias pada tahun ini mencapai 3 miliar ekor, salah satu produk ekspor yang berprospek bagus. Ketua DIHI Suseno mengatakan saat ini Indonesia menduduki peringkat ke-3 di dunia sebagai eksportir ikan hias dengan pangsa pasar sebesar 7,5%.
“Posisi itu di bawah Singapura dan Malaysia yang masing-masing berturut-turut sebesar 22,5% dan 11%,” ujarnya melalui siaran pers yang diterima Bisnis, hari ini. Ekspor ikan hias Indonesia pada 2010 telah mencapai US$12 juta atau naik dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai US$10 juta.

Pada tahun ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan produksi untuk ikan hias sebesar 3 miliar ekor. Produksi ikan hias pada 2014 ditargetkan mencapai 8 miliar ekor. Menurut dia, target produksi ikan hias yang cukup besar ini dilandasi atas potensi sumber daya ikan hias Indonesia dengan 400 spesies ikan air tawar dari 1.100 spesies yang ada di dunia berada di perairan Indonesia atau sebesar 40%. Selain itu, jumlah ikan hias air laut yang berjumlah 650 spesies atau sebesar 30%, sedangkan yang baru diperdagangkan sekitar 200 spesies.

Suseno yang juga staf ahli Menteri KP Bidang Sosial Ekonomi dan Budaya mengatakan ikan botia merupakan primadona ekspor ikan hias asli Indonesia yang mempunyai nama daerah ikan bajubang. Ikan itu, kata dia, hanya bisa dijumpai di dua tempat di Indonesia yakni Sungai Batanghari, Jambi dan Sungai Barito, Kalimantan. Ikan botia juga menjadi salah satu komoditas unggulan di Indonesia serta termasuk ikan favorit dan memiliki banyak penggemar di luar negeri. Untuk memenuhi permintaan pasar ekspor ke berbagai negara tersebut, maka benih ikan Botia diproduksi secara massal di Lokal Riset Budidaya Ikan Hias Air Tawar (LRBIHAT) Depok dengan produksi sampai 50.000 ekor per bulan. 

Sumber : bisnis-jatim.com