Selasa, 05 Juni 2012

Budidaya Ikan Koi

Ikan Koi termasuk ke dalam golongan ikan carp (karper). Harga Koi sangat ditentukan berdasarkan bentuk badan dan kualitas tampilan warna. Ikan koi pertama kali dikenal pada dinasti Chin tahun 265 dan 316 Masehi. Koi dengan keindahan warna dan tingkah laku seperti yang kita ketahui saat ini, mulai dikembangkan di Jepang 200 tahun yang lalu di pegunungan Niigata oleh petani Yamakoshi. Pemuliaan yang dilakukan bertahun-tahun menghasilkan garis keturunan yang menjadi standar penilaian koi. Beberapa varietas yang tersebar ke seluruh dunia digolongkan Asosiasi Koi Jepang (en Nippon Airinkai) menjadi 13 kelompok antara lain: Bekko, Utsurinomo, Asagi-Shusui, Goromo, Kawarimono, Ogon dan Hikari-moyomono. Sedangkan 5 golongan utama yaitu Kohaku, Sanke, Showa, Hirarinuji dan Kawarigoi.
Taksonomi koi adalah sebagai berikut:
Philum : Chordata
Kelas : Actinopterygii
Ordo : Cyprinoformes
Famili : Cyprinidae
Genus : Cyprinus
Spesies: Carpio
Nilai koi tergantung dari ukuran, bentuk serta keseimbangan pola dan intensitas warna kulit. Koi terbaik adalah yang memiliki intensitas, keseimbangan dan kejernihan warna terbaik. Membeli koi kecil sebaiknya dipilih yang memiliki kepala terbesar, biasanya akan tumbuh menjadi ikan dengan tubuh besar. Bentuk yang paling baik adalah seperti “torpedo”.

1. Pemilihan lokasi & konstruksi wadah
Ikan koi secara alami hidup di air deras sehingga membutuhkan air jernih dan berkadar oksigen tinggi. Pemeliharaan ikan koi yang terbaik adalah di kolam sehingga mudah mendapatkan makanan alami dan sinar matahari untuk merangsang pewarnaan tubuh. Kolam sebagian dinaungai karena sinar matahari yang terlalu banyak menyebabkan suhu air kolam meningkat dan air kolam menjadi keruh akibat blooming fitoplankton.
Koi berukuran kecil dapat ditempatkan di akuarium, walaupun ini tidak dapat menjadi habitat permanen. Bila dipelihara dalam kelompok, koi akan belajar untuk tidak mengganggu ikan yang berukuran sama, tetapi memakan ikan yang lebih kecil. Koi suka menggali dasar kolam sehingga menyebabkan akar tanaman rusak.
2. Teknik Budidaya
2.1 Kualitas Air

Air merupakan media hidup dan mempengaruhi kualitas tampilan ikan koi sehingga perlu mendapat perhatian. Kualitas air untuk mendukung perkembangan koi secara optimum adalah sebagai berikut:
v suhu air berkisar 24-26oC,v pH 7,2-7,4 (agak basa), v oksigen minimal 3-5 ppm, v CO2 max 10 ppm, v nitrit max 0,2.
Air yang digunakan harus terdeklorinisasi atau sudah disaring dan diendapkan 24 jam. Air yang digunakan untuk pemijahan dan penetasan telur sebaiknya memiliki kandungan oksigen dan suhu yang stabil. Untuk menjamin tersedianya oksigen dapat digunakan aerator, sedangkan suhu pada bak pemijahan diusahakan sama dengan suhu air kolam dengan tingkat perbedaan (fluktuasi) kurang dari 5oC.

2.2. Pakan
Koi adalah bottom feeder (pemakan di dasar) dan omnivora (pemakan segala). Pakan buatan untuk pembesaran koi dapat diberikan dalam bentuk butiran (pellet). Sumber protein utama adalah formulasi kombinasi antara bahan nabati (misalnya tepung kedelai, tepung jagung, tepung gandum, tepung daun, dll) dan bahan hewani (seperti; tepung ikan, tepung kepala udang, tepung cumi,kekerangan dll) serta multivitamin dan mineral seperti Ca, Mg, Zn, Fe, Co sebagai pelengkap pakan.

Kualitas pakan sangat menentukan tampilan warna sebagai daya tarik ikan koi sendiri, sehingga banyak upaya telah dilakukan dengan menggunakan bahan pakan yang mengandung zat pigmen seperti karotin (warna jingga), rutin (kuning) dan astasantin (merah). Zat-zat tersebut terkandung pada tubuh hewan dan tumbuhan tertentu seperti wortel mengandung zat karotin; sedangkan ganggang, chlorella, kubis, cabai hijau mengandung rutin; spirulina, kepiting, udang mengandung astasantin. Para pembudidaya saat ini tidak perlu lagi menyiapkan pakan sendiri karena sudah tersedia di pasaran pakan koi yang sudah di formulasi sesuai dengan kebutuhan nutrisi dan zat untuk pembentukan warna ikan koi.
Pakan alami atau pakan hidup misalnya cacing darah, cacing tanah, daphnia, cacing tubifex cocok diberikan pada benih koi (hingga bobot 50 g/ekor) karena lebih mudah dicerna oleh benih sesuai dengan kondisi sistem pencernaan, selain itu koi juga dapat memakan phitoplankton dalam kolam.
Jumlah pakan diberikan berdasarkan jumlah ikan (bobot biomassa) dalam kolam dengan kisaran kebutuhan 3-5 % per-hari, dengan frekuensi pemberian 2-3 kali per-hari hal ini juga disesuaikan dengan kondisi ikan dan media air pemeliharaannya.

2.3. Pembenihan
Induk yang baik adalah yang memiliki pola warna bervariasi yang cerah simetris dengan bentuk tubuh seperti terpedo dengan berat badan minimal 1 kg. Kebanyakan pembudidaya memilih untuk membeli koi berkualitas baik untuk calon induk dengan ukuran 5-8 cm yang harganya murah untuk dibesarkan menjadi induk.
Secara alami, carp memijah pada musim semi dan menjadi matang gonad dengan menaikkan suhu air. Induk jantan dan betina ditempatkan dalam wadah terpisah (untuk menghindari bertelur yang tidak diinginkan) dan tidak diberi pakan selama beberapa hari.
Koi dapat memijah secara alami dan buatan yaitu dengan rangsangan hormon yang disuntikkan pada tubuh induk betina untuk mempercepat proses pembuahan. Penyuntikan Pituitary Gland (PG, nama dagang ovaprim) dengan dosis 0,2 mg/kg bobot ikan untuk satu kali penyuntikan.
Ovulasi akan terjadi 10 jam setelah penyuntikan. Sistem pemijahan tanpa pengurutan/stripping ini disebut pemijahan semi alami yang lebih aman karena tanpa melukai ikan. Bila ikan sulit melakukan pemijahan alami sehingga perlu bantuan proses pembuahan buatan, maka dilakukan pengurutan telur dan sperma (stripping) yang merupakan pilihan terakhir.
Induk betina dalam sekali pemijahan dapat menghasilkan 75.000 telur/kg berat badan. Perbandingan jumlah induk dalam proses pemijahan adalah 2 betina dan 1 jantan. Biasanya telur yang dikelurkan oleh induk betina menempel pada substrat (injuk) yang segera dibuahi oleh sperma jantan. Setelah telur dibuahi sebaiknya dipisahkan dari induk, dengan memindahkan induk dari wadah pemijahan atau sebaliknya telur yang diangkat dan dipindahkan kedalam wadah penetasan.

2.4. Pendederan

Telur yang sudah dibuahi akan menetas setelah 24-48 jam tergantung suhu. Selama penetasan, kepadatan telur adalah 1 kg per 5 liter air. Larva yang baru menetas belum memerlukan pakan selama 3-4 hari, karena masih mempunyai kantong kuning telur.
Menjelang kuning telur habis, perlu diberikan pakan alami berupa naupli artemia atau pakan alami lainnya yang seukuran. Kemudian secara bertahap dapat diberikan pakan buatan berupa butiran kering(pellet). Dalam 5 hari sesudahnya 1 juta larva memerlukan 7 kg artemia, atau sekitar 0,5-2 kg per hari. Pada tahap ini larva ditebar pada kepadatan 20-40 larva/liter. Untuk menghasilkan 1 juta fingerling memerlukan sekitar 25kg telur artemia. Sintasan selama 9 hari adalah 50-80%. Ikan yang seberat 10 mg dapat dijual seharga US$ 0,25 atau sekitar Rp. 2.500,-.
Larva yang berbobot 0,25 g diberikan pakan buatan (butiran) kering dan dapat didederkan ke kolam hingga ukuran fingerling (2 gram). Pendederan terbagi atas 2 tahap yaitu pendederan I selama 2 bulan pemeliharaan hingga larva mencapai ukuran fingerling (2-3 cm). Pendederan II dilakukan dalam kolam yang diolah untuk menumbuhkan pakan alami dan dilakukan seleksi dan penjarangan (mengurangi kepadatan). Penjarangan bertujuan untuk memberi ruang gerak yang cukup bagi ikan koi. Seleksi bertujuan untuk mendapatkan ikan Koi berkualitas baik.
Waktu yang diperlukan dari telur hingga mencapai ukuran fingerling (2 gram) adalah 6-8 minggu dengan nilai sintasan (SR) 55%. Sedangkan untuk mencapai ukuran 5-8 cm diperlukan waktu 4 bulan. Kualitas ikan koi (pola dan warna) bergantung dari tetuanya. Dari hasil seleksi ukuran fingerling, yang afkir mencapai 25-50%. Dari 1 juta telur dapat dihasilkan 225.000-338.000 ekor fingerling berkualitas baik (22–33 %).

2.5. Pewarnaan
Kualitas koi ditentukan oleh pola warna, kesesuaian jenis koi dan kejelasan warna. Pola warna yang simetris dengan batasan jelas antar warna menunjukkan kualitas yang baik.
Genotip menentukan jumlah dan jenis sel pigmen serta kromatofora. Kromatofora menghasilkan warna juga dipengaruhi otak ikan. Ikan pada wadah gelap cenderung berwarna gelap, begitu pula sebaliknya. Warna dapat berubah bila ikan mengalami tekanan (stres). Biasanya ikan yang tumbuh lambat mempunyai warna yang lebih baik daripada ikan yang tumbuh cepat karena pigmen bisa diubah dan digunakan untuk pertumbuhan tubuh. Seumur hidupnya, ikan koi dapat menyimpan dan menggunakan pigmen. Koi muda yang berwarna pucat apabila diberikan pakan berpigmen selama 6 minggu sebelum dipasarkan akan berwarna menarik. Intensitas warna tergantung dari jumlah pigmen dalam kromatofora. Pigmen dapat muncul dengan adanya karotenoid dalam pakan.

2.6. Pra Panen
Koi tumbuh sekitar 2 cm per bulan dan pada usia 60 tahun dapat mencapai panjang hingga 1 m. Bila ikan Koi telah mencapai ukuran pasar yaitu 20 cm dapat dipanen dan dilakukan seleksi akhir, dengan memisah-misahkan jenis, ukuran dan pola warna tubuhnya. Dari hasil seleksi ini, Koi yang terpilih dibesarkan di dalam bak atau kolam semen sambil menunggu harga pasar yang baik.
Dalam penampungan akhir ini, ikan dapat diperbaiki bentuknya, jika terlalu gemuk dibuat langsing atau yang terlalu kurus dibuat lebih gemuk. Pemeliharaan berikutnya diusahakan tidak terlalu padat, akan lebih baik jika dalam bak dilengkapi aerator sehingga kesegaran air terjamin dan dengan pemberian pakan yang baik dapat meningkatkan kualitas warna tubuh ikan Koi.
Sumber:  http://www.perikanan-budidaya.go.id/detail_berita_fr.php?id=215

Senin, 26 Maret 2012

Sinergi Riset untuk Pengembangan Daya Saing Industri Pangan Berbasis Kelautan dan Perikanan

Sinergi Riset untuk Peningkatan Daya Saing Industri Pangan Berbasis Kelautan dan Perikanan
Pelaku usaha perikanan, khususnya usaha kecil menengah (UKM) sangat membutuhkan dukungan riset dalam pengembangan usaha mereka. Demikian disampaikan oleh Erwin Hartono Suminto, Ketua KomiteTetap Litbang Industri Pengolahan Hasil Perikanan KADIN Indonesia pada acara Focus Group Discussion (FGD) “Sinergi Riset Pangan Berbasis Kelautan dan Perikanan” yang diadakan, Selasa 20 Maret 2012 di kantor Kementerian Ristek Jl. Thamrin Jakarta. Menurutnya, sebagai komoditas yang bernilai ekonomi tinggi, hasil kelautan dan perikanan Indonesia perlu mendapat dukungan riset khususnya untuk industri pengolahannya. Karena itu, KADIN menyambut baik prakarsa Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) untuk membentuk forum diskusi terkait dukungan riset terhadap pengembangan industri pangan berbasis kelautan dan perikanan.

Sementara itu, Deputi Kelembagaan Iptek Benyamin Lakitan dalam sambutannya menekankan kembali bahwa Kementerian Ristek mempunyai komitmen kuat untuk mensinergikan pemanfaatan dan implementasi IPTEK bagi pengembangan industri-industri pangan berbasis kelautan dan perikanan, khususnya memperkuat ketahanan pangan nasional seperti tertuang dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Menurutnya, sesuai dengan tugas pokoknya Kemenristek memiliki peran penting, khususnya dari sisi kebijakan dan koordinasi pelaksanaan penelitian, pengembangan dan penerapan (litbangrap) melalui program penguatan sistem inovasi nasional (SINas). Ditambahkannya lagi bahwa selama ini sudah banyak hasil riset yang dihasilkan oleh lembaga penelitian maupun perguruan tinggi terkait kelautan dan perikanan yang belum termanfaatkan oleh masyarakat/industri (pengguna teknologi). Karena itu, menurutnya forum ini menjadi penting untuk menjembatani antara penghasil dengan pengguna teknologi (industri/bisnis, pemerintah, masyarakat).
 
Pembicara lainnya, Sri Hadiati dari Direktorat Industri Makanan, Hasil Laut dan Perikanan, Kementerian Perindustrian juga mengingatkan bahwa pemerintah melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 28 tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional telah menetapkan Industri Hasil Perikanan dan Hasil Laut sebagai Industri Prioritas. Terkait dengan hal tersebut, Kementerian Perindustrian telah menyusun Road Map Industri Pengolahan Ikan. Namun demikian, beberapa isu penting yang sangat memerlukan dukungan riset, khususnya terkait dengan pengolahan hasil laut serta standardisasi produk yang mengacu pada standar internasional,  food safety, GMP, SNI, dan Codex.

Sementara itu, Nur Retnowati dari Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatakan bahwa saat ini pemerintah telah mencanangkan program Industrialisasi Kelautan dan Perikanan untuk meningkatkan nilai tambah produk perikanan. Program ini tentunya harus didukung ketersediaan produk hasil riset seperti alat perekayasa dan pengolahan perikanan. Saat ini terdapat 65 ribu unit pengolahan ikan yang sebagian besar Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang sebagian besar belum mampu memenuhi standar mutu, karena terbatasnya peralatan produksi yang dipergunakan dan pengetahuan sumberdaya manusianya.

Sementara itu, Asdep Kompetensi Kelembagaan, I Wayan Budiastra yang memimpin acara diskusi memaparkan bahwa acara FGD ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran realita kebutuhan pengguna teknologi (industri/bisnis, pemerintah, masyarakat). Pada tahap selanjutnya, akan dilakukan pemetaan hasil penelitian lembaga litbang yang dapat mendukung pengembangan industri pangan berbasis kelautan dan perikanan. Diharapkan pada masanya akan tercipta suatu link and match antara penghasil dan pengguna teknologi yang pada akhirnya dapat meningkatkan daya saing industri pangan berbasis kelautan dan perikanan.

Diskusi ini dihadiri oleh peserta yang  berasal dari Kementerian Perindustrian; Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), BPPT, LIPI, BATAN, KADIN Indonesia, Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN) dan Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I). Salah satu peserta diskusi Ahmad Hafied, pengusaha perikanan dari Maluku mengungkapkan bahwa usahanya membutuhkan teknologi untuk mengawetkan hasil perikanan agar tetap segar. Sementara peserta lainnya, Wibisono Wiyono dari Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN) menyarankan agar forum ini terus berlanjut dengan mengundang stakeholders lainnya seperti perbankan dan lembaga pembiayaan lainnya.  (ds, ad3-dep1/ humasristek)

Kriteria Alat Tangkap Ramah Lingkungan

Di Indonesia saat ini, telah banyak dikembangkan metode penangkapan yang tidak merusak lingkungan (Anonim. 2006). Selain karena tuntutan dan kecaman dunia internasional yang akan memboikot ekspor dari negara yang sistem penangkapan ikannya masih merusak lingkungan, pemerintah juga telah berupaya untuk melaksanakan tata cara perikanan yang bertanggung jawab.
Food Agriculture Organization (FAO, sebuah lembaga di bawah naungan Perserikatan Bangsa Bangsa yang menangani masalah pangan dan pertanian dunia), pada tahun 1995 mengeluarkan suatu tata cara bagi kegiatan penangkapan ikan yang bertanggung jawab (Code of Conduct for Resposible Fisheries- CCRF). Dalam CCRF ini, FAO menetapkan serangkaian kriteria bagi teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan. Sembilan kriteria tersebut adalah sebagai berikut:
1. Alat tangkap harus memiliki selektivitas yang tinggi
Artinya, alat tangkap tersebut diupayakan hanya dapat menangkap ikan/organisme lain yang menjadi sasaran penangkapan saja. Ada dua macam selektivitas yang menjadi sub kriteria, yaitu selektivitas ukuran dan selektivitas jenis. Sub kriteria ini terdiri dari (yang paling rendah hingga yang paling tinggi):
  1. Alat menangkap lebih dari tiga spesies dengan ukuran yang berbeda jauh
  2. Alat menangkap tiga spesies dengan ukuran yang berbeda jauh
  3. Alat menangkap kurang dari tiga spesies dengan ukuran yang kurang lebih sama.
  4. Alat menangkap satu spesies saja dengan ukuran yang kurang lebih sama.
2. Alat tangkap yang digunakan tidak merusak habitat, tempat tinggal dan berkembang biak ikan dan organisme lainnya.
Ada pembobotan yang digunakan dalam kriteria ini yang ditetapkan berdasarkan luas dan tingkat kerusakan yang ditimbulkan alat penangkapan. Pembobotan tersebut adalah sebagai berikut (dari yang rendah hingga yang tinggi):
  1. Menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang luas
  2. Menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang sempit
  3. Menyebabkan sebagian habiat pada wilayah yang sempit
  4. Aman bagi habitat (tidak merusak habitat)
3. Tidak membahayakan nelayan (penangkap ikan).
Keselamatan manusia menjadi syarat penangkapan ikan, karena bagaimana pun, manusia merupakan bagian yang penting bagi keberlangsungan perikanan yang produktif. Pembobotan resiko diterapkan berdasarkan pada tingkat bahaya dan dampak yang mungkin dialami oleh nelayan, yaitu (dari rendah hingga tinggi):
  1. Alat tangkap dan cara penggunaannya dapat berakibat kematian pada nelayan
  2. Alat tangkap dan cara penggunaannya dapat berakibat cacat menetap (permanen) pada nelayan
  3. Alat tangkap dan cara penggunaannya dapat berakibat gangguan kesehatan yang sifatnya sementara
  4. Alat tangkap aman bagi nelayan
4. Menghasilkan ikan yang bermutu baik.
Jumlah ikan yang banyak tidak berarti bila ikan-ikan tersebut dalam kondisi buruk. Dalam menentukan tingkat kualitas ikan digunakan kondisi hasil tangkapan secara morfologis (bentuknya). Pembobotan (dari rendah hingga tinggi) adalah sebagai berikut:
  1. Ikan mati dan busuk
  2. Ikan mati, segar, dan cacat fisik
  3. Ikan mati dan segar
  4. Ikan hidup
5. Produk tidak membahayakan kesehatan konsumen.
Ikan yang ditangkap dengan peledakan bom pupuk kimia atau racun sianida kemungkinan tercemar oleh racun. Pembobotan kriteria ini ditetapkan berdasarkan tingkat bahaya yang mungkin dialami konsumen yang harus menjadi pertimbangan adalah (dari rendah hingga tinggi):
  1. Berpeluang besar menyebabkan kematian konsumen
  2. Berpeluang menyebabkan gangguan kesehatan konsumen
  3. Berpeluang sangat kecil bagi gangguan kesehatan konsumen
  4. Aman bagi konsumen
6. Hasil tangkapan yang terbuang minimum.
Alat tangkap yang tidak selektif (lihat butir 1), dapat menangkap ikan/organisme yang bukan sasaran penangkapan (non-target). Dengan alat yang tidak selektif, hasil tangkapan yang terbuang akan meningkat, karena banyaknya jenis non-target yang turut tertangkap. Hasil tangkapan non target, ada yang bisa dimanfaatkan dan ada yang tidak. Pembobotan kriteria ini ditetapkan berdasarkan pada hal berikut (dari rendah hingga tinggi):
  1. Hasil tangkapan sampingan (by-catch) terdiri dari beberapa jenis (spesies) yang tidak laku dijual di pasar
  2. Hasil tangkapan sampingan (by-catch) terdiri dari beberapa jenis dan ada yang laku dijual di pasar
  3. Hasil tangkapan sampingan (by-catch) kurang dari tiga jenis dan laku dijual di pasar
  4. Hasil tangkapan sampingan (by-catch) kurang dari tiga jenis dan berharga tinggi di pasar.
7. Alat tangkap yang digunakan harus memberikan dampak minimum terhadap keanekaan sumberdaya hayati (biodiversity).
Pembobotan kriteria ini ditetapkan berdasasrkan pada hal berikut (dari rendah hingga tinggi):
  1. Alat tangkap dan operasinya menyebabkan kematian semua mahluk hidup dan merusak habitat.
  2. Alat tangkap dan operasinya menyebabkan kematian beberapa spesies dan merusak habitat
  3. Alat tangkap dan operasinya menyebabkan kematian beberapa spesies tetapi tidak merusak habitat
  4. Aman bagi keanekaan sumberdaya hayati
8. Tidak menangkap jenis yang dilindungi undang-undang atau terancam punah.
Tingkat bahaya alat tangkap terhadap spesies yang dilindungi undangundang ditetapkan berdasarkan kenyataan bahwa:
  1. Ikan yang dilindungi sering tertangkap alat
  2. Ikan yang dilindungi beberapa kali tertangkap alat
  3. Ikan yang dilindungi .pernah. tertangkap
  4. Ikan yang dilindungi tidak pernah tertangkap
9. Diterima secara sosial.
Penerimaan masyarakat terhadap suatu alat tangkap, akan sangat tergantung pada kondisi sosial, ekonomi, dan budaya di suatu tempat. Suatu alat diterima secara sosial oleh masyarakat bila:
  • biaya investasi murah,
  • menguntungkan secara ekonomi,
  • tidak bertentangan dengan budaya setempat,
  • tidak bertentangan dengan peraturan yang ada. Pembobotan Kriteria ditetapkan dengan menilai kenyataan di lapangan bahwa (dari yang rendah hingga yang tinggi):
  1. Alat tangkap memenuhi satu dari empat butir persyaratan di atas
  2. Alat tangkap memenuhi dua dari empat butir persyaratan di atas
  3. Alat tangkap memenuhi tiga dari empat butir persyaratan di atas
  4. Alat tangkap memenuhi semua persyaratan di atas
Bila ke sembilan kriteria ini dilaksanakan secara konsisten oleh semua pihak yang terlibat dalam kegiatan penangkapan ikan, maka dapat dikatakan ikan dan produk perikanan akan tersedia untuk dimanfaatkan secara berkelanjutan. Hal yang penting untuk diingat bahwa generasi saat ini memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan ketersediaan sumberdaya ikan bagi generasi yang akan datang dengan pemanfaatan sumberdaya ikan yang berkesinambungan dan lestari. Perilaku yang bertanggung jawab ini dapat memelihara, minimal mempertahankan stok sumberdaya yang ada kemudian akan memberikan sumbangan yang penting bagi ketahanan pangan (food security), dan peluang pendapatan yang berkelanjutan.

Komunitas Ikan Modern Hidup Cepat dan Mati Muda

Mencari bagaimana populasi ikan dipengaruhi tekanan perikanan yang meningkat seiring waktu, McClanahan dan Omukoto membandingkan data sejarah hidup komunitas ikan modern (yang dikumpulkan dari ikan yang ditangkap dari bekas-bekas ikan yang digali dari pemukiman Swahili kuno di Shanga, Kenya. Terbentang sekitar 650 tahun, pemukiman ini memberi pandangan berharga pada para peneliti mengenai bagaimana komponen komunitas ikan dan tekanan perikanan berubah seiring waktu.


Para peneliti menemukan kalau sejarah hidup ikan yang tertangkap perikanan modern dan komponen komunitas ikan purba berbeda nyata. Komunitas ikan purba memiliki predator puncak yang persentasinya besar – spesies yang memangsa ikan dan invertebrata besar seperti siput, teripang, dan tiram – komunitas ikan modern mengandung lebih banyak spesies yang memakan tanaman, invertebrata kecil seperti kutu laut, umumnya spesies yang berada pada rantai makanan yang lebih rendah. Komponen komunitas ikan modern juga mengandung lebih banyak spesies yang lebih kecil ukurannya dengan laju pertumbuhan dan kematian lebih tinggi.


Penelitian ini juga menemukan kalau jumlah tulang ikan di midden berpuncak antara 1000-1100 M (sekitar 1000-900 tahun lalu) sebelum menurun, sementara belulang domba dan kambing menjadi lebih banyak dalam level substrata yang lebih tinggi, menunjukkan kalau ada pergeseran pola makan manusia ke hewan ternak. Dari Fiji ke Kenya ke terumbu karang Glover, penelitian Dr. McClanahan telah memeriksa ekologi, perikanan, pengaruh perubahan iklim, dan manajemen terumbu karang pada lokasi kunci di dunia. Penelitian ini didukung yayasan John D. and Catherine T. MacArthur Foundation dan Yayasan The Tiffany & Co.

Sumber berita :

Senin, 27 Februari 2012

Mengenal Apa Itu "Ghost Fishing"

Ghost fishing sebenarnya bukanlah suatu jenis alat tangkap, atau bukan pula metoda penangkapan ikan yang memanfaatkan ilmu ghaib, seperti magic atau ilmu-ilmu sebangsanya dalam penangkapan ikan. Ghost fishing adalah suatu istilah dalam penangkapan ikan yang menggambarkan dampak negatif dari kegiatan penangkapan ikan. Layaknya istilah-istilah lain yang bertalian dengan “ghost”, istilah ghost fishing ini juga bermakna menakutkan, menakutkan bagi kelestarian sumberdaya ikan.

Sejak permintaan dunia akan sumber protein hewani khususnya ikan meningkat, upaya untuk meningkatkan kemampuan tangkap alat penangkapan ikan terus diupayakan, baik dari sisi teknologi bahan alat penangkapan ikan, metode penangkapan ikan, maupun teknologi alat bantu penangkapan ikannya. Kompetisi yang makin tinggi antar nelayan penangkap ikan mendorong nelayan untuk mengoperasikan alat tangkap yang lebih efektif dan efisien. Untuk memperpanjang masa pengoperasian alat tangkap, bahan alat tangkap yang semula dibuat dari bahan alami dan mudah rusak diganti dengan bahan yang dibuat dari fiber sintetik modern yang bersifat non-biodegradable. Bahan-bahan inilah yang kemudian memicu adanya gost fishing.

Dalam kegiatan penengkapan ikan, karena beberapa sebab, tidak jarang nelayan kehilangan alat tangkapnya. Nelayan yang mengoperasikan alat tangkap di pantai, seperti jaring gillnettrammel net atau bubu yang dioperasikan secara menetap hilang karena disapu oleh alat tangkap aktif seperti trawldogol, dan sebagainya. Alat tangkap juga bisa hilang karena faktor cuaca. Tidak jarang pula alat tangkap hilang karena unsur kesengajaan, misalnya dipotong oleh kapal niaga yang melintas jalur laut tersebut atau dipotong nelayan lain karena mengganggu daerah operasi penangkapannya. Potongan atau bagian jaring, atau alat tangkap yang tertinggal di laut, secara terus menerus akan menangkap ikan. Proses tertangkapnya ikan yang tak termanfaatkan sebagai akibat dari tertinggalnya alat tangkap ikan di laut inilah yang disebut sebagai ghost fishing.


Alat tangkap yang tertinggal di laut akan menyebabkan tertangkapnya ikan, yang kemudian karena mati, ikan menjadi busuk. Ikan yang telah membusuk tersebut kemudian menarik ikan atau biota pemangsa bangkai dan krustasea lainnya berkumpul di sekitarnya. Selanjutnya, kehadiran ikan dan krustasea pemangsa bangkai di sekitar alat tangkap, menarik ikan yang tropik levelnya lebih tinggi untuk datang dan memangsa ikan dan biota yang ada. Kecelakaan terjadi, beberapa ikan terperangkap alat tangkap yang tertinggal dan memicu siklus ghost fishing selanjutnya, demikian seterusnya. Proses ini akan berulang terus sampai alat tangkap itu hancur sama sekali. Umur dari siklus ghost fishing ini bervariasi, dan sangat bergantung pada kondisi lingkungan di sekitar tertinggalnya alat tangkap tersebut. 

Perhatian yang lebih besar dari ghost fishing perlu diberikan kepada bubu atau alat perangkap lainnya, bukan pada alat tangkap jaring, seperti gillnetatau trammelnet. Hal ini karena, bubu atau perangkap biasanya terbangun atas material atau bahan-bahan yang tahan lama dan struktur yang kuat, misalnya besi, kawat, bambu atau kayu. Sehingga bila tertinggal atau hilang di laut akan menyebabkan proses ghost fishing yang relatif lebih lama dibandingkan jaring. Bubu atau perangkap yang masih berumpan bila hilang atau tertinggal di laut, akan menarik ikan ikan-ikan pemangsa bangkai atau biota yang bernilai ekonomis lainnya untuk masuk dan kemudian terperangkap di dalam bubu. Ikan atau biota yang terperangkap tersebut karena kekurangan makanan dan ruang akhirnya mati, dan menjadikannya umpan bagi ikan pemangsa selanjutnya. Bila bahan dari bubu ini merupakan bahan yang tidak mudah rusak, maka proses hilangnya sumberdaya ikan akibat ghost fishing ini akan semakin banyak dan lebih merugikan dibanding jaring. 

Nilai dan jenis dampak dari ghost fishing sangat beragam, tergantung pada wilayah dan jenis perikanannya. Meskipun relatif sulit untuk menghitung nilai dampak dari ghost fishing, beberapa penelitian terhadap alat tangkap statis menunjukkan bahwa kehilangan akibat ghost fishingdiperkirakan sebesar 10% dari populasi yang ada. Amerika Serikat memperkirakan kehilangan pendapatan sekitar $250 juta per tahun dari hilangnya lobster akibat dari ghost fishing. Dilaporkan juga bahwa, jenis kerugian dari ghost fishing ini bukan saja dari hilangnya sumberdaya ikan, tetapi juga dialami oleh sumberdaya non-ikan seperti burung laut dan mamalia. Yang tak kalah pentingnya, hilangnya alat tangkap di laut ternyata juga berdampak luas terhadap ekologi laut dan juga transportasi laut khususnya keselamatan kapal di laut.

Mengingat begitu menakutkannya dampak dari ghost fishing, maka FAO merekomendasikan beberapa langkah antisipasi dan penanganan hilangnya alat tangkap termasuk di dalamnya ghost fishing dalam FAO Code of Conduct of Responsible Fisheries. Sebagai solusi kongkret, disarankan alat penangkapan ikan, khususnya bubu untuk menggunakan lubang keluar dan menggunakan material yang biodegradable. Penelitian secara berkala ghost fishing dengan underwater camera atau teknologi lainnya juga disarankan, untuk mengantisipasi peningkatan dampaknya pada masa yang akan datang.

Ikan Sidat Indonesia Diincar Jepang

Benar jika dikatakan bahwa kekayaan kelautan dan perikanan Indonesia termasuk yang terbesar di dunia. Buktinya terlihat dari salah satu spesies ikan kegemaran warga Jepang, yaitu ikan sidat atau unagi, yang banyak hidup di perairan Indonesia. Benih ikan sidat yang bisa hidup di air tawar dan asin itu ternyata menjadi incaran pengusaha perikanan Jepang karena harganya yang terbilang wah dan bisa mengucurkan yen ke kantong. Ambil contoh, ikan sidat jenis marmorata. Untuk membeli satu kilogramnya saja, Anda harus menyediakan uang setidaknya Rp 300.000. Namun, ada juga 5 jenis ikan sidat lainnya yang salah satunya dijual seharga Rp 150.000 per kg, yakni jenis bicolor. Benihnya banyak ditemukan di perairan Palabuhan Ratu, Jawa Barat. Sampai saat ini, manusia belum bisa melakukan pemijahan terhadap benih ikan sidat tersebut. Pasalnya, ikan ini mensyaratkan pemijahan dilakukan di perairan laut dalam setelah benur lahir dan menjadi benih. Biasanya anakan sidat akan berenang ke muara sungai. Di muara sungai itulah ikan itu besar sampai kemudian datang masa pemijahan lagi. “Jepang yang memiliki teknologi tinggi pun sampai sekarang belum bisa melakukan pemijahan tersebut,” papar Made Suita, Kepala Balai Pelayanan Usaha (BLU) Tambak Pandu, Karawang, Minggu (14/3/2010). Alhasil, untuk pembudidayaan ikan sidat tersebut, benih harus didatangkan dari alam. Beberapa daerah yang sudah memiliki sebaran tersebut adalah perairan Poso, Manado, selatan Jawa terutama perairan Palabuhan Ratu, dan perairan di barat Sumatera. Namun, tidak semua daerah itu benihnya bisa dimanfaatkan karena banyak nelayan yang belum mengerti cara untuk menangkapnya. Made menyebutkan, nelayan yang sudah memiliki kemampuan untuk menangkap benih sidat itu baru nelayan yang ada di Palabuhan Ratu. Wilayah ini memiliki palung dan muara sungai yang mengalir ke laut.

Nurdin selaku Kepala Bagian Budidaya di BLU Pandu Karawang bilang, kini sudah ada yang mengomersialkan keberadaan benih itu, terutama nelayan yang ada di Palabuhan Ratu. Mereka sudah mengetahui potensi pasar benih ikan sidat, yang satu kilogramnya atau sekitar 5.000 benih dijual seharga Rp 150.000 per kg. Pembelinya pun kebanyakan datang dari Taiwan, Korea, China, Vietnam, dan tentunya Jepang. Namun sebagian masyarakat Indonesia belum mengerti keberadaan bibit ikan sidat tersebut. Di Poso dan Manadi, misalnya, benih ikan sidat tersebut bahkan dijadikan ikan yang digoreng dengan rempeyek. Menurut Nurdin, ketika warga tidak mengetahuinya, ikan sidat itu menjadi ikan biasa seperti teri.

Pembeli benih ikan sidat dari berbagai negara kini sudah banyak mengincarnya. Sementara itu, pembeli benih domestik hanya memanfaatkannya untuk kebutuhan budidaya yang ada di Karawang, Cirebon, dan Indramayu. Yang menyulitkan bagi pembudidaya di dalam negeri adalah mereka tidak memiliki akses langsung ke pasar ekspor. Adapun di pasar dalam negeri, mereka tidak bisa berharap banyak karena konsumen domestik tidak menyukai ikan sidat dan juga karena harganya yang mahal.

“Untuk membudidayakannya juga ada persyaratan jika ingin ekspor ke Jepang sehingga pembudidaya ikan sidat sulit untuk ekspor ke sana,” kata Nurdin. Salah satu cara untuk bisa menembus pasar Jepang adalah dengan menjalin kerja sama terhadap perusahaan Jepang yang sebelumnya sudah berbisnis ikan sidat.
Nurdin bilang, ikan sidat cukup mahal karena proses perawatannya yang membutuhkan waktu lebih panjang, yakni 3-4 bulan. Adapun pakan utamanya adalah pelet dengan protein tinggi yang dijual seharga Rp 9.000 per kg. Selain itu, ikan juga butuh pakan tambahan berupa keong mas yang sudah dipotong-potong. Dalam perawatannya pun, suplai oksigen harus dijaga karena ikan sidat membutuhkan air dengan tingkat larutan oksigen tinggi. Adapun tingkat kehidupan rata-rata ikan sidat tersebut mencapai 75 persen dari bibit yang ditebar. “Jika ingin detailnya, maka silakan datang ke BLU Tambak Pandu Karawang. Kami akan berikan informasi detailnya,” undang Nurdin.

Saat ini di BLU Pandu Karawang terdapat mitra kerja sama dari Jepang, yakni Asama Industry Co Ltd. Mitra ini bekerja sama dengan PT Suri Tani Pemuka yang melakukan kerja sama untuk memproduksi ikan sidat di BLU Pandu Karawang. Ikan sidat yang sudah diproduksi tersebut bisa diekspor langsung ke Jepang karena sudah ada yang menampung. Sayang, Made tidak mau menyebutkan angka ekspor dari perusahaan mitranya tersebut. Hal yang dibutuhkan oleh pembudidaya ikan sidat adalah membuka kerja sama dengan pemasok ikan sidat yang ada di pasar dunia. Menurut Made, pasar yang sangat menarik dan belum banyak disentuh adalah pasar ikan sidat untuk kebutuhan non-Jepang. “Yang mengonsumsi itu tidak hanya Jepang. Taiwan, Korea, dan China juga sangat menyukai ikan ini,” ungkap Made.
Butuh proteksi ekspor benih
Masalah yang dihadapi oleh pembudidaya ikan sidat ini adalah masalah daya saing yang ketat dengan negara produsen lainnya. Negara yang sudah mengembangkan budidaya ikan sidat ini adalah Vietnam dan Korea, demikian juga dengan Jepang sendiri. Anehnya, kata Made, budidaya di dua negara tersebut mendapatkan benih ikan sidat dari Indonesia. Padahal, kata Made, Kementerian Kelautan dan Perikanan sudah memproteksi ekspor benih ikan sidat dengan alasan guna melindungi spesies dan untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri. “Namun, pembudidaya ikan sidat di Jepang itu sendiri ternyata adalah orang Indonesia,” ungkap Made. Termasuk yang ada di Korea dan juga Vietnam, benih ikan sidat itu diindikasi berasal dari Indonesia. Made mengindikasi bahwa banyak benih ikan sidat dari Indonesia berseliweran keluar negeri dan dibudidayakan di luar negeri. “Kontainer saja yang besar bisa diselundupkan, apalagi benih yang kecil ini,” ujar Made. Jika penyelundupan benih itu bisa diatasi, maka produksi ikan sidat dari budidaya di dalam negeri bisa sangat diandalkan sebagai nilai tambah bagi pembudidaya di dalam negeri, termasuk menambah devisa negara. 
Kompas.com, 17 Maret 2010

Ikan Hias, Primadona Ekspor Masa Depan

JAKARTA: Dewan Ikan Hias Indonesia (DIHI) menargetkan produksi ikan hias pada tahun ini mencapai 3 miliar ekor, salah satu produk ekspor yang berprospek bagus. Ketua DIHI Suseno mengatakan saat ini Indonesia menduduki peringkat ke-3 di dunia sebagai eksportir ikan hias dengan pangsa pasar sebesar 7,5%.
“Posisi itu di bawah Singapura dan Malaysia yang masing-masing berturut-turut sebesar 22,5% dan 11%,” ujarnya melalui siaran pers yang diterima Bisnis, hari ini. Ekspor ikan hias Indonesia pada 2010 telah mencapai US$12 juta atau naik dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai US$10 juta.

Pada tahun ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan produksi untuk ikan hias sebesar 3 miliar ekor. Produksi ikan hias pada 2014 ditargetkan mencapai 8 miliar ekor. Menurut dia, target produksi ikan hias yang cukup besar ini dilandasi atas potensi sumber daya ikan hias Indonesia dengan 400 spesies ikan air tawar dari 1.100 spesies yang ada di dunia berada di perairan Indonesia atau sebesar 40%. Selain itu, jumlah ikan hias air laut yang berjumlah 650 spesies atau sebesar 30%, sedangkan yang baru diperdagangkan sekitar 200 spesies.

Suseno yang juga staf ahli Menteri KP Bidang Sosial Ekonomi dan Budaya mengatakan ikan botia merupakan primadona ekspor ikan hias asli Indonesia yang mempunyai nama daerah ikan bajubang. Ikan itu, kata dia, hanya bisa dijumpai di dua tempat di Indonesia yakni Sungai Batanghari, Jambi dan Sungai Barito, Kalimantan. Ikan botia juga menjadi salah satu komoditas unggulan di Indonesia serta termasuk ikan favorit dan memiliki banyak penggemar di luar negeri. Untuk memenuhi permintaan pasar ekspor ke berbagai negara tersebut, maka benih ikan Botia diproduksi secara massal di Lokal Riset Budidaya Ikan Hias Air Tawar (LRBIHAT) Depok dengan produksi sampai 50.000 ekor per bulan. 

Sumber : bisnis-jatim.com