| Sinergi Riset untuk Peningkatan Daya Saing Industri Pangan Berbasis Kelautan dan Perikanan |
Pelaku usaha perikanan, khususnya usaha kecil menengah (UKM) sangat membutuhkan dukungan riset dalam pengembangan usaha mereka. Demikian disampaikan oleh Erwin Hartono Suminto, Ketua KomiteTetap Litbang Industri Pengolahan Hasil Perikanan KADIN Indonesia pada acara Focus Group Discussion (FGD) “Sinergi Riset Pangan Berbasis Kelautan dan Perikanan” yang diadakan, Selasa 20 Maret 2012 di kantor Kementerian Ristek Jl. Thamrin Jakarta. Menurutnya, sebagai komoditas yang bernilai ekonomi tinggi, hasil kelautan dan perikanan Indonesia perlu mendapat dukungan riset khususnya untuk industri pengolahannya. Karena itu, KADIN menyambut baik prakarsa Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) untuk membentuk forum diskusi terkait dukungan riset terhadap pengembangan industri pangan berbasis kelautan dan perikanan. Sementara itu, Deputi Kelembagaan Iptek Benyamin Lakitan dalam sambutannya menekankan kembali bahwa Kementerian Ristek mempunyai komitmen kuat untuk mensinergikan pemanfaatan dan implementasi IPTEK bagi pengembangan industri-industri pangan berbasis kelautan dan perikanan, khususnya memperkuat ketahanan pangan nasional seperti tertuang dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Menurutnya, sesuai dengan tugas pokoknya Kemenristek memiliki peran penting, khususnya dari sisi kebijakan dan koordinasi pelaksanaan penelitian, pengembangan dan penerapan (litbangrap) melalui program penguatan sistem inovasi nasional (SINas). Ditambahkannya lagi bahwa selama ini sudah banyak hasil riset yang dihasilkan oleh lembaga penelitian maupun perguruan tinggi terkait kelautan dan perikanan yang belum termanfaatkan oleh masyarakat/industri (pengguna teknologi). Karena itu, menurutnya forum ini menjadi penting untuk menjembatani antara penghasil dengan pengguna teknologi (industri/bisnis, pemerintah, masyarakat). Pembicara lainnya, Sri Hadiati dari Direktorat Industri Makanan, Hasil Laut dan Perikanan, Kementerian Perindustrian juga mengingatkan bahwa pemerintah melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 28 tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional telah menetapkan Industri Hasil Perikanan dan Hasil Laut sebagai Industri Prioritas. Terkait dengan hal tersebut, Kementerian Perindustrian telah menyusun Road Map Industri Pengolahan Ikan. Namun demikian, beberapa isu penting yang sangat memerlukan dukungan riset, khususnya terkait dengan pengolahan hasil laut serta standardisasi produk yang mengacu pada standar internasional, food safety, GMP, SNI, dan Codex. Sementara itu, Nur Retnowati dari Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatakan bahwa saat ini pemerintah telah mencanangkan program Industrialisasi Kelautan dan Perikanan untuk meningkatkan nilai tambah produk perikanan. Program ini tentunya harus didukung ketersediaan produk hasil riset seperti alat perekayasa dan pengolahan perikanan. Saat ini terdapat 65 ribu unit pengolahan ikan yang sebagian besar Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang sebagian besar belum mampu memenuhi standar mutu, karena terbatasnya peralatan produksi yang dipergunakan dan pengetahuan sumberdaya manusianya. Sementara itu, Asdep Kompetensi Kelembagaan, I Wayan Budiastra yang memimpin acara diskusi memaparkan bahwa acara FGD ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran realita kebutuhan pengguna teknologi (industri/bisnis, pemerintah, masyarakat). Pada tahap selanjutnya, akan dilakukan pemetaan hasil penelitian lembaga litbang yang dapat mendukung pengembangan industri pangan berbasis kelautan dan perikanan. Diharapkan pada masanya akan tercipta suatu link and match antara penghasil dan pengguna teknologi yang pada akhirnya dapat meningkatkan daya saing industri pangan berbasis kelautan dan perikanan. Diskusi ini dihadiri oleh peserta yang berasal dari Kementerian Perindustrian; Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), BPPT, LIPI, BATAN, KADIN Indonesia, Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN) dan Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I). Salah satu peserta diskusi Ahmad Hafied, pengusaha perikanan dari Maluku mengungkapkan bahwa usahanya membutuhkan teknologi untuk mengawetkan hasil perikanan agar tetap segar. Sementara peserta lainnya, Wibisono Wiyono dari Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN) menyarankan agar forum ini terus berlanjut dengan mengundang stakeholders lainnya seperti perbankan dan lembaga pembiayaan lainnya. (ds, ad3-dep1/ humasristek) |
Senin, 26 Maret 2012
Sinergi Riset untuk Pengembangan Daya Saing Industri Pangan Berbasis Kelautan dan Perikanan
Kriteria Alat Tangkap Ramah Lingkungan
Di Indonesia saat ini, telah banyak dikembangkan metode penangkapan yang tidak merusak lingkungan (Anonim. 2006). Selain karena tuntutan dan kecaman dunia internasional yang akan memboikot ekspor dari negara yang sistem penangkapan ikannya masih merusak lingkungan, pemerintah juga telah berupaya untuk melaksanakan tata cara perikanan yang bertanggung jawab.
Food Agriculture Organization (FAO, sebuah lembaga di bawah naungan Perserikatan Bangsa Bangsa yang menangani masalah pangan dan pertanian dunia), pada tahun 1995 mengeluarkan suatu tata cara bagi kegiatan penangkapan ikan yang bertanggung jawab (Code of Conduct for Resposible Fisheries- CCRF). Dalam CCRF ini, FAO menetapkan serangkaian kriteria bagi teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan. Sembilan kriteria tersebut adalah sebagai berikut:
1. Alat tangkap harus memiliki selektivitas yang tinggi
Food Agriculture Organization (FAO, sebuah lembaga di bawah naungan Perserikatan Bangsa Bangsa yang menangani masalah pangan dan pertanian dunia), pada tahun 1995 mengeluarkan suatu tata cara bagi kegiatan penangkapan ikan yang bertanggung jawab (Code of Conduct for Resposible Fisheries- CCRF). Dalam CCRF ini, FAO menetapkan serangkaian kriteria bagi teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan. Sembilan kriteria tersebut adalah sebagai berikut:
1. Alat tangkap harus memiliki selektivitas yang tinggi
Artinya, alat tangkap tersebut diupayakan hanya dapat menangkap ikan/organisme lain yang menjadi sasaran penangkapan saja. Ada dua macam selektivitas yang menjadi sub kriteria, yaitu selektivitas ukuran dan selektivitas jenis. Sub kriteria ini terdiri dari (yang paling rendah hingga yang paling tinggi):
- Alat menangkap lebih dari tiga spesies dengan ukuran yang berbeda jauh
- Alat menangkap tiga spesies dengan ukuran yang berbeda jauh
- Alat menangkap kurang dari tiga spesies dengan ukuran yang kurang lebih sama.
- Alat menangkap satu spesies saja dengan ukuran yang kurang lebih sama.
2. Alat tangkap yang digunakan tidak merusak habitat, tempat tinggal dan berkembang biak ikan dan organisme lainnya.
Ada pembobotan yang digunakan dalam kriteria ini yang ditetapkan berdasarkan luas dan tingkat kerusakan yang ditimbulkan alat penangkapan. Pembobotan tersebut adalah sebagai berikut (dari yang rendah hingga yang tinggi):
- Menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang luas
- Menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang sempit
- Menyebabkan sebagian habiat pada wilayah yang sempit
- Aman bagi habitat (tidak merusak habitat)
3. Tidak membahayakan nelayan (penangkap ikan).
Keselamatan manusia menjadi syarat penangkapan ikan, karena bagaimana pun, manusia merupakan bagian yang penting bagi keberlangsungan perikanan yang produktif. Pembobotan resiko diterapkan berdasarkan pada tingkat bahaya dan dampak yang mungkin dialami oleh nelayan, yaitu (dari rendah hingga tinggi):
- Alat tangkap dan cara penggunaannya dapat berakibat kematian pada nelayan
- Alat tangkap dan cara penggunaannya dapat berakibat cacat menetap (permanen) pada nelayan
- Alat tangkap dan cara penggunaannya dapat berakibat gangguan kesehatan yang sifatnya sementara
- Alat tangkap aman bagi nelayan
4. Menghasilkan ikan yang bermutu baik.
Jumlah ikan yang banyak tidak berarti bila ikan-ikan tersebut dalam kondisi buruk. Dalam menentukan tingkat kualitas ikan digunakan kondisi hasil tangkapan secara morfologis (bentuknya). Pembobotan (dari rendah hingga tinggi) adalah sebagai berikut:
- Ikan mati dan busuk
- Ikan mati, segar, dan cacat fisik
- Ikan mati dan segar
- Ikan hidup
5. Produk tidak membahayakan kesehatan konsumen.
Ikan yang ditangkap dengan peledakan bom pupuk kimia atau racun sianida kemungkinan tercemar oleh racun. Pembobotan kriteria ini ditetapkan berdasarkan tingkat bahaya yang mungkin dialami konsumen yang harus menjadi pertimbangan adalah (dari rendah hingga tinggi):
- Berpeluang besar menyebabkan kematian konsumen
- Berpeluang menyebabkan gangguan kesehatan konsumen
- Berpeluang sangat kecil bagi gangguan kesehatan konsumen
- Aman bagi konsumen
6. Hasil tangkapan yang terbuang minimum.
Alat tangkap yang tidak selektif (lihat butir 1), dapat menangkap ikan/organisme yang bukan sasaran penangkapan (non-target). Dengan alat yang tidak selektif, hasil tangkapan yang terbuang akan meningkat, karena banyaknya jenis non-target yang turut tertangkap. Hasil tangkapan non target, ada yang bisa dimanfaatkan dan ada yang tidak. Pembobotan kriteria ini ditetapkan berdasarkan pada hal berikut (dari rendah hingga tinggi):
- Hasil tangkapan sampingan (by-catch) terdiri dari beberapa jenis (spesies) yang tidak laku dijual di pasar
- Hasil tangkapan sampingan (by-catch) terdiri dari beberapa jenis dan ada yang laku dijual di pasar
- Hasil tangkapan sampingan (by-catch) kurang dari tiga jenis dan laku dijual di pasar
- Hasil tangkapan sampingan (by-catch) kurang dari tiga jenis dan berharga tinggi di pasar.
7. Alat tangkap yang digunakan harus memberikan dampak minimum terhadap keanekaan sumberdaya hayati (biodiversity).
Pembobotan kriteria ini ditetapkan berdasasrkan pada hal berikut (dari rendah hingga tinggi):
- Alat tangkap dan operasinya menyebabkan kematian semua mahluk hidup dan merusak habitat.
- Alat tangkap dan operasinya menyebabkan kematian beberapa spesies dan merusak habitat
- Alat tangkap dan operasinya menyebabkan kematian beberapa spesies tetapi tidak merusak habitat
- Aman bagi keanekaan sumberdaya hayati
8. Tidak menangkap jenis yang dilindungi undang-undang atau terancam punah.
Tingkat bahaya alat tangkap terhadap spesies yang dilindungi undangundang ditetapkan berdasarkan kenyataan bahwa:
- Ikan yang dilindungi sering tertangkap alat
- Ikan yang dilindungi beberapa kali tertangkap alat
- Ikan yang dilindungi .pernah. tertangkap
- Ikan yang dilindungi tidak pernah tertangkap
9. Diterima secara sosial.
Penerimaan masyarakat terhadap suatu alat tangkap, akan sangat tergantung pada kondisi sosial, ekonomi, dan budaya di suatu tempat. Suatu alat diterima secara sosial oleh masyarakat bila:
- biaya investasi murah,
- menguntungkan secara ekonomi,
- tidak bertentangan dengan budaya setempat,
- tidak bertentangan dengan peraturan yang ada. Pembobotan Kriteria ditetapkan dengan menilai kenyataan di lapangan bahwa (dari yang rendah hingga yang tinggi):
- Alat tangkap memenuhi satu dari empat butir persyaratan di atas
- Alat tangkap memenuhi dua dari empat butir persyaratan di atas
- Alat tangkap memenuhi tiga dari empat butir persyaratan di atas
- Alat tangkap memenuhi semua persyaratan di atas
Bila ke sembilan kriteria ini dilaksanakan secara konsisten oleh semua pihak yang terlibat dalam kegiatan penangkapan ikan, maka dapat dikatakan ikan dan produk perikanan akan tersedia untuk dimanfaatkan secara berkelanjutan. Hal yang penting untuk diingat bahwa generasi saat ini memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan ketersediaan sumberdaya ikan bagi generasi yang akan datang dengan pemanfaatan sumberdaya ikan yang berkesinambungan dan lestari. Perilaku yang bertanggung jawab ini dapat memelihara, minimal mempertahankan stok sumberdaya yang ada kemudian akan memberikan sumbangan yang penting bagi ketahanan pangan (food security), dan peluang pendapatan yang berkelanjutan.
Komunitas Ikan Modern Hidup Cepat dan Mati Muda
Mencari bagaimana populasi ikan dipengaruhi tekanan perikanan yang meningkat seiring waktu, McClanahan dan Omukoto membandingkan data sejarah hidup komunitas ikan modern (yang dikumpulkan dari ikan yang ditangkap dari bekas-bekas ikan yang digali dari pemukiman Swahili kuno di Shanga, Kenya. Terbentang sekitar 650 tahun, pemukiman ini memberi pandangan berharga pada para peneliti mengenai bagaimana komponen komunitas ikan dan tekanan perikanan berubah seiring waktu.
Para peneliti menemukan kalau sejarah hidup ikan yang tertangkap perikanan modern dan komponen komunitas ikan purba berbeda nyata. Komunitas ikan purba memiliki predator puncak yang persentasinya besar – spesies yang memangsa ikan dan invertebrata besar seperti siput, teripang, dan tiram – komunitas ikan modern mengandung lebih banyak spesies yang memakan tanaman, invertebrata kecil seperti kutu laut, umumnya spesies yang berada pada rantai makanan yang lebih rendah. Komponen komunitas ikan modern juga mengandung lebih banyak spesies yang lebih kecil ukurannya dengan laju pertumbuhan dan kematian lebih tinggi.
Penelitian ini juga menemukan kalau jumlah tulang ikan di midden berpuncak antara 1000-1100 M (sekitar 1000-900 tahun lalu) sebelum menurun, sementara belulang domba dan kambing menjadi lebih banyak dalam level substrata yang lebih tinggi, menunjukkan kalau ada pergeseran pola makan manusia ke hewan ternak. Dari Fiji ke Kenya ke terumbu karang Glover, penelitian Dr. McClanahan telah memeriksa ekologi, perikanan, pengaruh perubahan iklim, dan manajemen terumbu karang pada lokasi kunci di dunia. Penelitian ini didukung yayasan John D. and Catherine T. MacArthur Foundation dan Yayasan The Tiffany & Co.
Sumber berita :
Langganan:
Komentar (Atom)